Sabtu, 24 Maret 2012

Studi Hadis (Hadis Dhaif)


PENDAHULUAN
Hadis merupakan salah satu sumber rujukan dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hadis yang begitu banyak jumlahnya tidak semuanya dijadikan pokok sandaran dalam Islam. Karena setelah dilihat, tidak semua hadis itu dapat diterima keshahihannya atau kehujahannya. Untuk mengetahui semua itu perlu adanya usaha atau kritik agar dapat diketahui kualitas hadis mana hadis yang dapat diterima dan mana hadis yang tidak dapat diterima.
Salah satu klasifikasi hadis yang dilihat dari segi kualitasnya adalah hadis dhaif. Hadis dhaif ini dikenal dengan hadis yang lemah kualitasnya. Sebab-sebab kelemahan hadis ini sangatlah banyak ragamnya, jika dilihat dari segi sanad maupun matannya. Adapun dari segi kehujahannya, apakah hadis ini dapat diamalkan atau tidak, para ulama berbeda pendapat.
Untuk lebih jelasnya, di dalam makalah ini penulis merusaha mengkaji tentang makna hadis dhaif dan sebab-sebab kedhaifannya serta bagaimana kehujahan hadis dhaif menurut ulama.










PEMBAHASAN
HADIS DHAIF
A.      Pengertian Hadis Dhaif
Dhaif menurut lughah adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[1]
Adapun menurut Muhaddisin, hadis dhaif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadis sahih dan hasan.[2]
B.       Klasifikasi Hadis Dhaif
Semua hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis shahih dan hadis hasan adalah hadis dhaif. Dengan begitu, sebab kedhaifan suatu hadis sangat bervariasi, baik dilihat dari sanadnya maupun matannya. Sebagian ulama menyatakan jumlah variasi itu mencapai lebih seratus macam. Dalam hal ini, perlu dikemukakan macam-macam hadis dhaif dilihat dari segi sanadnya, dari matannya, dan dari segi sanad dan matannya sekaligus, lengkap dengan namanya masing-masing.[3]
Para ulama Muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.[4]
Sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanad adalah:
1.      Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
2.      Ketidaksambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Dusta
2.      Tertuduh dusta
3.      Fasik
4.      Banyak salah
5.      Lengah dalam menghafal
6.      Menyalahi riwayat orang yang tsiqat (kepercayaan)
7.      Banyak waham (purbasangka)
8.      Tidak diketahui identitasnya
9.      Penganut bid’ah
10.  Tidak baik hafalannya
1.        Klasifikasi Hadis Dhaif Berdasarkan Cacat pada Rawi, baik Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi
a.         Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’ adalah hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak.[5]
Ø  Ciri-ciri hadis maudhu’
Para ulama menetukan bahwa ciri-ciri kemaudhu’an suatu hadis terdapat pada sanad dan matan hadis.
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad hadis, yaitu adanya pengakuan dari si pembuat sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadis maudhu’, dan qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
Adapun ciri-ciri yang terdapat pada matan, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi ma’na dan segi lafazh. Dari segi ma’na, yaitu bahwa hadis itu bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis mutawatir, ijma’, dan logika yang sehat. Dari segi lafazh, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih.
Ø  Contoh hadis maudhu’ yang berlawanan dengan akal
Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dari jalan Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya dari Nabi saw.:
إِنَّ سَفِيْنَةَ نُوْحٍ طَافَتْ بِالْبَيْتِ سَبْعًا وَصَلَّتْ خَلْفَ المْقَاَمِ رَكْعَتَيْنِ
“Bahwasanya bahtera Nuh a.s. mengelilingi Ka’bah 7 kali dan shalat di belakang maqam Nabi Ibrahim 2 rakaat.”
Riwayat ini sangatlah berlawanan dan bersalahan dengan akal, karena itu terlihatlah ia salah satu dari dongengan Abdurrahman.[6]
b.        Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.[7]
Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang perawi yang tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan hadisnya.
Di antara sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi, ada beberapa kemungkinan yaitu sebagai berikut:
1)      Periwayatan hadis yang menyendiri atau hanya dia sendiri yang meriwayatkannya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun yang meriwayatannya selain dia.
2)      Seorang perawi dikenal sebagai pembohong dan pendusta pada selain hadis tertentu.
3)      Menyalahi kaidah-kaidah yang maklum seperti kewajiban beragama, kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain.
            Contoh hadis matruk: hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ady katanya: “diceritakan kepada kami oleh Yaqub ibn Sufyan ibn Ashim, dicertakan kepada kami oleh Isa ibn Ziyad, telah dicertakan kepada kami oleh Abdurrahim ibn Zaid dari ayahnya dari Said ibn Al Musayyab dari Umar ibn Khattab, katanya: “Rasulullah saw. bersabda:
لَوْلَا النِّسَاءَ لَعَبِدَ اللهَ حَقًّا
“Sekiranya tak ada wanita di dunia, tentulah hamba Allah menyembah Allah dengan sebenar-benarnya.”
Kata Ibnu Ady: “Hadis ini matruk, karena Abdurrahim dan ayahnya dua orang yang matruk, tak boleh diambil hadisnya.”[8]
c.         Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadis yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya.[9] Lawannya dinamakan ma’ruf.
Ø  Contoh hadis munkar:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Hubaib ibn Habib, saudara Hamzah ibn Habib Az Zaiyat Al Muqri, dari Abi Ishaq dari Al Aizar ibn Hurais, dari Ibn Abbas, dari Nabi saw. bersabda:
مَنْ أَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَحَجَّ الْبَيْتَ وَصَامَ رَمَضَانَ وَقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, berpuasa ramadhan, dan memuliakan tamu masuklah ke surga.
Abu Hatim berkata: “Hadis ini munkar”. Menurut riwayat orang lain dari Hubaib, perkataan ini bukan perkataan Nabi, hanya perkataan Ibnu Abbas. Hubaib menyandarkan perkataan ini kepada Rasulullah. Dengan itu, jadilah riwayat ini sebenarnya atsar mauquf bukan hadis marfu’. Walhasil, hadis munkar itu ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lemah, berlawanan pula dengan riwayat orang kepercayaan.
Jelasnya, bila seseorang yang lemah meriwayatkan sesuatu riwayat dan riwayatnya berlawanan dengan riwayat orang yang kuat, maka riwayat silemah dinamai: Munkar, dan riwayat yang kuat dinamai: Ma’ruf.
d.        Hadis Syadz
Hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hafalnya.[10]
Contoh hadis syadz pada sanad,
Hadis yang diriwayatkan At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah melalui jalan Ibnu Uyaynah dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa Rasulullah saw. dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakan. Nabi bertanya: “Apakah ada seseorang yang menjadi pewarisnya? “Mereka menjawab: Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya, kemudian Nabi menjadikannya sebagai pewaris baginya.”
Hammad bin Zaid [seorang tsiqah, adil dan dhabith] juga meriwayatkan hadis di atas dari Amr bin Dinar dari Ausajah, tetapi tidak menyebutkan Ibnu Abbas. Maka periwayatan Hammad bin Zaid Syadz, sedang periwayatan Ibnu Uyaynah mahfuzh.[11]
Contoh hadis syadz pada matan, hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ (Rasulullah saw. bersabda):
إِذَا صَلَّى أحَدُكُمْ رَكْعَتَي الفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ
Jika telah shalat dua rakaat Fajar salah seorang di antara kamu, hendaklah tidur pada lambung kanan.
Al-Baihaqi berkata: periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Syadz karena menyalahi mayoritas perawiyang meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri di antara para perawi tsiqah.[12]
e.         Hadis Mu’allal
Mu’allal arti menurut bahasa adalah yang ditimpa penyakit. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang pada zahirnya baik, tetapi setelah diperiksa terdapat padanya hal-hal yang mencacatkannya.[13]
Hadis mu’allal juga dinamai hadis Ma’lul atau Mu’all. ‘Illat (penyakit) hadis yaitu “Asbabun khafiyyun ghamidun qadihun fihi” sebab-sebab yang tersembunyi, sulit diketahui, dapat menjatuhkan derajat hadis.[14]
Adapun jalan mengetahui penyakit itu dengan cara: mengunpulkan segala jalan datang hadis, menyelidiki satu persatu, melihat kelainan-kelainan yang terjadi pada riwayat itu, dan dilihat juga jurusan kuat lemahnya ingatan dan hafalan perawinya. Maka jika menurut perasaan pemeriksa ada penyakit yang telah menimpai hadis itu, ia pun memberikan hukumnya; bahkan terkadang pemeriksa itu memperoleh keyakinan yang kuat bahwa hadis itu berpenyakit, tapi jika ditanya apa gerangan penyakit itu, tak sanggup ia menerangkannya.
Contohnya, hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Abu Daud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb Al-Mala’i dari Al-A’masy dari Anas berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم " إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لم يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ الْأَرْضِ
Nabi saw ketika hendak hajat tidak mengangkat kainnya sehingga dekat dengan tanah.
Hadis di atas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad tsiqah tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik, Ibnu Al-Madani mengatakan, bahwa Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekkah shalat di belakang Maqam Ibrahim.
f.         Hadis Mudhtharib
Mudhtharab pada lughah ialah: yang goncang dan bergetar. Kegoncangan suatu hadis karena terjadi kontra antara satu hadis dengan hadis lain, berkualitas sama dan tidak dapat dipecahkan secara ilmiah. Menurut istilah hadis mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan pada beberapa segi yang berbeda, tetapi sama dalam kualitasnya.[15]
Di antara sebab idhthirab-nya suatu hadis adalah karena lemahnya daya ingat perawi dalam meriwayatkan hadis tersebut, sehingga terjadi kontra yang tak kunjung dapat diselesaikan solusinya.
Kebanyakan mudhtharib terjadi pada sanad dan sedikit terjadi pada matan. Contoh mudhtharib pada sanad, seperti hadis Abu Bakar r.a. berkata: Ya Rasulullah aku melihat engkau beruban. Rasulullah menjawab: “Syayyabatni Hudun wa akhawatuha” (membuat uban rambutku Surah Hud dan saudara-saudaranya. (H.R. At-Tirmidzi)
Ad-Daruquthni berkata: “Hadis ini mudhtharib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq dan diperselisihkan dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara mereka ada yang meriwayatkan secara mursal dan ada yang maushul. Di antara mereka ada yang menjadikannya dari Musnad Abi Bakar, Musnad Aisyah, Musnad Sa’ad, dan lain-lain. Semua tsiqah tetapi tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat di-tarjih.[16]
Contoh mudhtharib pada matan, seperti hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya’bi dari Fatimah bin Qays berkata: Rasulullah saw. ditanya tentang zakat menjawab: “Inna fil mali lahaqqan siwa az-zakah” (sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat).
Sementara pada riwayat Ibnu Majah melalui jalan ini Rasulullah saw. bersabda: “Laisa fil mali haqqun siwa az-zakah” (tidak ada hak pada harta selain zakat).
Al-Iraqi berkata: “Hadis di atas terjadi Idhthirab tidak mungkin ditakwilkan.” Hadis pertama menyatakan adanya hak bagi harta selain zakat, sedangkan hadis kedua menyatakan sebaliknya, yakni tidak adanya hak selain zakat atau hanya zakat saja sebagai hak harta.
g.        Hadis Maqlub
Maqlub pada bahasa artinya yang dipalingkan, yang dibalikkan, yang ditukar, yang dirubah,yang terbalik. Adapun menurut istilah hadis maqlub adalah hadis yang terjadi padanya taqdim atau takhir, yakni (mendahulukan yang kemudian atau sebaliknya) pada sanad atau matan atau menggantinya dengan yang lain.[17] Seperti hadis Abu Hurairah pada Imam Muslim tentang tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat di bawah naungan arsy-Nya, di dalamnya disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan laki-laki yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kirinya”.
Bunyi hadis ini dirubah oleh seorang perawi, padahal yang sebenarnya:
 وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ شمِاَلَهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan laki-laki yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kanannya”. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Bukhari.
h.        Hadis Munqalib
Munqalib menurut bahasa artinya yang berbalik atau yang berpaling. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang sebagian dari lafaz matannya terbalik karena si perawi, sehingga berubahlah maknanya.[18]
Hadis munqalib hampir sama dengan hadis maqlub, hanya saja kebanyakan ulama mengkhususkan munqalib apabila terjadi pembalikan lafaz dalam matan.[19]
i.          Hadis Mudraj
Mudraj secara bahasa adalah yang termasuk, yang tercampur, yang disisipkan. Sedangkan secara istilah adalah hadis yang asal sanadnya atau matannya tercampur dengan sesuatu yang bukan bagiannya.[20] Dalam istilah udraj dibagi dua macam yaitu mudraj pada sanad dan mudraj pada matan.
1)        Mudraj pada sanad ialah hadis yang diubah konteks sanadnya. Mudraj sanad ini banyak sekali kemungkinannya terjadi, misalnya:
a)      Sekelompok jamaah meriwayatkan suatu hadis dengan beberapa sanad yang berbeda, kemudian diriwayatkan oleh seorang perawi dengan menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad tersebut tanpa menerangkan ragam dan perbedaan sanad.
b)      Seseorang meriwayatkan matan tetapi tidak sempurna, kesempurnaannya ia temukan melalui sanad yang lain. Kemudian ia meriwayatkannya dengan menggunakan sanad pertama.
c)      Seorang perawi menyampaikan periwayatan, di tengah-tengah menyampaikan sanad terhalang oleh suatu gangguan, kemudian ia berbicara dari dirinya sendiri. Di antara pendengarnya ada yang mengira pembicaraan tersebut adalah matan hadis, kemudian ia meriwayatkannya.
2)        Mudraj pada matan yaitu hadis yang dimasukkan ke dalam matannya sesuatu yang tidak bagian dari padanya tanpa ada pemisah.
Maksud mudraj pada definisi di atas adalah tambahan atau sisipan dari seorang perawi untuk menjelaskan atau memberikan pengantar matan hadis tetapi tidak ada pemisah yang membedakan antara tambahan atau sisipan dan matan hadis tersebut. Tambahan atau sisipan ini bisa jadi di awal matan atau di tengah atau di akhir matan, tetapi pada umumnya di akhir matan, sekalipun terkadang juga ada di depan dan tengah matan sedikit. Di antara faktor penyebab kemungkinan terjadinya mudraj karena seorang perawi menjelaskan syarah lafal hadis yang gharib (sulit dipahami). Penjelasan dan syarah itu diduga oleh pendengarnya bahwa hal itu bagian dari hadis.

j.          Hadis Mushahhaf
Mushahhaf secara lughah artinya yang dirubah. Secara istilah adalah hadis yang terjadi padanya perbedaan dengan riwayat yang tsiqat (kepercayaan) yang lain, dengan mengubah satu huruf atau beberapa huruf serta tetap rupa tulisan yang asli.[21]
Contoh mushahhaf, hadis Nabi saw.:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهَرَ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dan diikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia sama dengan berpuasa satu tahun.
 Hadis ini di-tashhif-kan oleh Abu Bakar Ash-Shuli dengan ungkapan:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ اتَّبَعَهُ شَيْئًا مِنْ شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
k.        Hadis Muharraf
Muharraf arti menurut bahasa adalah yang dipalingkan atau yang dirubah. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang harakat dan sukun dari huruf yang ada pada matan dan sanadnya berubah dari asalnya.[22]
Contoh Muharraf, hadis Jabir berkata:
رُمِىَ أُبَىٌّ يَوْمَ الأَحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
“Ubay dipanah pada peperangan Ahzab di urat lengannya, maka Rasulullah saw. mengobatinya dengan besi panas. (HR. Ad-Daruquthni)
Hadis di atas di-tahrif (diubah) oleh Ghandar pada kata Ubay menjadi Abi=ayahku. Maksud Jabir menjelaskan yang terpanah atau mati syahid pada peperangan Ahzab adalah Ubay bin Ka’ab bukan bapaknya sendiri, bapaknya meninggal dunia pada perang Uhud sebelum perang Ahzab.
l.          Hadis Muhmal
Muhmal menurut bahasa artinya yang dibiarkan, yang ditinggalkan, yang diacuhkan. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang diriwayatkan dari salah seorang yang serupa namanya, atau kuniyahnya, atau laqabnya, atau salah satu dari yang tersebut ini serta nama ayah, atau nama kakeknya, atau pada segala yang tersebut, sedang salah satu seorang dari dua orang yang serupa itu tidak kepercayaan.[23] Contohnya:  
كَانَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم إذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الأَذَى، وَعَافَانِي.
Gambaran dari sanad hadis tersebut sebagai barikut:
1)      Ibn Majah
2)      Harun bin Ishaq
3)      Abdurrahman Al Muhariby
4)      Ismail bin Muslim
5)      Anas bin Malik
Yang menjadi persoalan dari rawi-rawi hadis tersebut ialah: Ismail bin Muslim, karena ada dua orang yang bernama Ismail bin Muslim yang kebetulan kedua-duanya menerima hadis dari Hasan Al Qatadah, salah seorang dari keduanya itu termasuk orang yang tidak tsiqah (yakni Ismail bin Muslim Al Bashry) sedang yang lain termasuk orang yang tsiqah (Ismail bin Muslim Al ‘Abdy). Karena tidak jelas inilah maka hadis itu dianggap lemah.
m.      Hadis Mubham
Mubham pada bahasa artinya hal yang tidak terang, yang tersembunyi. Adapun pada istilah adalah hadis yang pada matan atau sanadnya ada seorang yang tidak disebut namanya.[24]
Jadi mubham adalah tidak adanya penyebutan nama seorang perawi yang jelas, karena hanya disebutkan seorang laki-laki atau seorang perempuan saja tidak disebutkan nama jelas. Contoh mubham dalam sanad, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan, melalui Al-Hajjaj bin Farafishah dari seorang laki-laki dari Abu salamah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:
المُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ، وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
Orang mukmin adalah seorang mulia yang murah sedangkan orang durhaka adalah penipu yang tercela.
Dalam sanad hadis di atas hanya disebutkan dari seorang laki-laki dari Abu Salamah dari... Tanpa menyebutkan nama si laki-laki tersebut, maka dinamakan mubham.
Contoh mubham pada matan banyak sekali dalam hadis, di antaranya:
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah ra. Berkata: ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Sedekah apa yang paling utama? Rasul menjawab: Sedekah sedang Anda dalam keadaan sehat, sangat perlu..
Hukum mubham dalam sanad, jika terjadi pada seorang sahabat tidak apa-apa, karena semua sahabat adil dan jika terjadi pada selain sahabat jumhur ulama menolaknya sehingga diketahui identitasnya seperti majhul ‘ain, sedang mubham dalam matan tidak mengapa dan tidak mengganggu keshahihan hadis.
n.        Hadis Majhul
Majhul pada lughah adalah yang tidak diketahui, yang tidak dikenal. Pada istilah hadis majhul adalah seorang perawi yang tidak dikenal jati diri dan identitasnya.
Sebab-sebab tidak dikenal jati diri atau identitas itu (jahalah) ada beberapa faktor penyebab, di antaranya:
1)      Seseorang mempunyai banyak nama atau sifat, baik nama asli, nama panggilan, gelar, sifat profesi atau suku dan bangsa. Sementara orang tersebut hanya dikenal sebagian namanya saja, tetapi kemudian disebutkan nama atau sifat yang tidak dikenal karena ada tujuan tertentu, maka ia diduga perawi lain.
2)      Seorang perawi yang sedikit periwayatan hadis, tidak banyak orang yang mengambil perawi yang kecuali hanya satu orang saja misalnya.
3)      Tidak tegas penyebutan nama perawi karena diringkas menjadi nama kecil atau nama panggilan atau karena tjuan lain.
Macam-macam hadis majhul yaitu majhul ‘ain dan majhul hal (mastur).
Hadis majhul ‘ain adalah hadis yang pada sanadnya ada si perawi yang disebut namanya, tetapi tidak diketahui orangnya dan yang meriwayatkan daripadanya hanya seorang saja.
Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Al-Hakim melalui jalan Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman An-Nufali dari Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’:
أُحِبُّوْا اللهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ بِهِ مِنْ نِعَمِهِ، وَأَحِبُّونِي لِحُبِّ اللَّهِ، وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي لِحُبِّي
Cintailah Allah karena sesuatu yang diberikan kepadamu dari pada nikmat-nikmat-Nya, cintailah aku karena cinta Allah, dan cintailah ahli keluarganya karena mencintaiku.
Abdullah bin Sulaiman An-Nufali tidak diketahui jati dirinya (majhul ‘ain), kaena tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hisyam bin Yusuf.
Adapun hadis majhul hal adalah hadis yang pada sanadnya ada perawi yang disebut namanya dan diketahui orangnya, diriwayatkan daripadanya dua orang yang adil atau lebih, tetapi perawi tersebut tidak diketahui kepercayaannya. [25]
Contohnya, hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah melalui Itsam bin Ali dari Al-A’masy dari Abu Ishaq dari Hani’ bin Hani’ berkata: Ammar masuk ke rumah Ali, maka Ali menyambutnya: “Selamat datang seorang suci dan disucikan” aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
مُلِئَ عَمَّارٌ إِيمَانًا إِلَى مُشَاشِهِ
Ammar dipenuhi imannya sampai ke tulang-tulangnya.
Hani’ bin Hani’ tidak diketahui identitasnya (majhul al-hal), karena tidak ada seorang tsiqah yang meriwayatkan hadisnya atau tidak ada yang menerangkan tentang ke-tsiqahan-nya. Dengan demikian hadis di atas hukum periwayatan hadis majhul tertolak (mardud) menurut pendapat yang shahih yaitu mayoritas ulama hadis.
2.        Klasifikasi Hadis Berdasarkan Gugurnya Rawi
a.        Hadis Mu’allaq
Mu’allaq menurut bahasa adalah isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sementara menurut istilah hadis mu’allaq adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.
Contohnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW. bersabda:
لا تُفَاضِلُوا بَيْنَ الْأَنْبِيَاءِ.
“Janganlah kalian melebih-lebihkan di antara para nabi”
Pada hadis ini, Bukhari tidak pernah bertemu Al-Majisyun.[26]
b.        Hadis Mu’dhal
Mu’dhal secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Adapun menurut istilah muhaditsin, hadis mu’dhal adalah hadis yang ditengah sanadnya gugur (putus) dua orang rawi atau lebih secara berurutan.[27]
Contohnya diriwayatkan oleh al-Hakam dalam kitab Ma’rifat Ulum Al-Hadis dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwa dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda,
 لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إلا مَا يُطِيقُ
Seorang hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik dan tidak dibebani pekerjaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.
Al-Hakim berkata, “Hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatha’.”
Hadis ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada kita, selain al-Muwatha’, diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak ke-mu’dhal-annya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya. Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.[28]
c.         Hadis Mursal
Mursal, menurut bahasa, isim maf’ul, yang berarti yang dilepaskan. Adapun hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin kecil. Seperti bila seorang tabiin mengatakan, “Rasulullah SAW. bersabda begini atau berbuat seperti ini.”[29]
Seperti telah kita ketahui bahwa dalam hadis mursal itu, yang digugurkan adalah sahabat yang langsung menerima barita dari Rasulullah SAW., sedangkan yang menggugurkan dapat juga seorang tabiin. Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadis, hadis mursal terbagi pada mursal jali, mursal shahabi, dan mursal khafi.[30]
1.    Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2.    Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabt yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam. Hadis mursal sahabi ini dianggap sahih karena pada galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat, sedangkan para sahabat itu seluruhnya adil.
3.    Mursal Khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan tabiin, di mana tabiin yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadis pun darinya.
Contoh hadis mursal:
عَنْ مَالِكِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ بْنِ حَزمِ :أَنَّ فِيْ الْكِتَابِ الَّذِيْ كَتَبَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِعَمْرٍو بْنِ حَزمِ أَنْ لَّا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ.
“Dari Malik dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, bahwa dalam surat yang Rasulullah saw. tulis kepada “Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak menyentuh Qur’an melainkan orang yang bersih”.
Abdullah bin Abu Bakar ini seorang tabii sedang seorang tabii tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi saw. Jadi, semestinya Abdullah menerima riwayat itu dari seorang lain atau sahabat.
d.        Hadis Munqathi
Hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak barturut-turut.[31]
Macam-macam pengguguran (inqitha’) sebagai berikut:
1.    Inqitha’ dilakukan dengan jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadis dapat diketahui tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadis padanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan hadis.
2.    Inqitha’ dilakukan dengan samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja.
3.    Diketahui dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadis riwayat orang lain.[32]
Contoh munqathi’:
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ شُعَيْبَ أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْد قَالَ ثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ عَنْ هِشَام بْنِ عُرْوَة عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِر عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلا مَا فَتَقَ الْاَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ. (المحلى 20: 10)
“Berkata Ahmad bin Syu’aib: “Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abu Awanah telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari Fatimah binti Munzir dari Ummu Salamah ummul mukminin, ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Tidak menjadikan haram dari penyusuan, melainkan apa-apa yang sampai dipencernaan dari susu dan itu sebelum (anak) berhenti (dari minum susu).”
Sanad hadis ini kalau kita gambarkan akan tampak demikian: (1) Ahmad bin Syu’aib (An-Nasai), (2) Qutaibah bin Sa’id, (3) Abu Awanah, (4) Hisyam bin Urwah, (5) Fatimah binti Munzir, (6) Ummu Salamah, (7) Rasulullah saw.
Fatimah (No.5) tidak mendengar hadis tersebut dari Ummu Salamah (No.6), karena waktu Ummu Salamah meninggal, Fatimah ketika itu masih kecil dan tidak bertemu dengannya.  
e.         Hadis Mudallas
Mudallas menurut bahasa artinya yang ditutup atau yang disamarkan. Menurut istilah adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda.[33] Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadis yang diriwayatkan oleh mudallis disebut hadis mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.
Macam-macam tadlis sebagai berikut:
1.    Tadlis isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis darinya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan lafazh menyampaikan hadis dengan ‘an fulanin (dari sifulan) atau anna fulanan yaqulu (bahwa si Fulan berkata).
2.    Tadlis syuyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis yang didengarkan dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunnya, atau menyifati gurunya dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
3.    Tadlis taswiyah (tajwid), yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsiqah, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan lafazh yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.[34]
رَوَى النُّعْمَانُ بْنُ رَاشَد عَنِ الزُّهْرِي عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَضْرِبِ امْرَأَةً قَطُّ، ولا خادماً، إِلا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (علل الحدبث 324: 1)
“Diriwayatkan oleh Nu’man bin Rasyid dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak pernah sekali-kali memukul seorang perempuan dan tidak juga seorang pelayan, melainkan ia berjihad di jalan Allah.
Keterangan: dengan sepintas lalu-melihat susunan sanad ini-dapat dikatakan bahwa Zuhri mendengar riwayat itu dari Urwah karena memang biasa Zuhri meriwayatkan darinya.
Anggapan ini keliru, karena Imam Abu Hatim berkata: “Zuhri tidak pernah mendengar hadis dari Urwah”. Ini berarti antara Zuhri dan Urwah ada seorang yang tidak disebut oleh Zuhri.
Karena Zuhri dan Urwah semasa dan bertemu, sedang ia tidak mendengar riwayat tersebut dari Urwah. Tetapi ia mendengar dari perawi lain, maka tersamarlah sanadnya, sehingga orang menyangka Zuhri mendengar dari Urwah. Boleh jadi Zuhri yang menyamarkannya. Maka riwayat itu dinamakan mudallas.

C.      Kehujahan Hadis Dhaif
Seganap ulama hadis, para fuqaha, dan ulama ushul telah sepakat menetapkan tidak boleh sekali-kali mempergunakan hadis dhaif dalam masalah akidah, baik dari kedhaifannya sangat kuat atau ringan.
Adapun tentang hukum, jumhur ulama hadis dan ulama fikih dan ushul berpendapat tidak menerima hadis dhaif pada sanad dijadikan hujah, baik kedhaifannya itu sangat atau ringan seperti halnya pada masalah akidah. Akan tetapi, sebagian ulama hadis dan jamaah dari ulama fikih dan ushul berpendapat boleh menjadikannya sebagai hujah dengan syarat hadisnya itu tidak terlalu lemah; dengan tujuan kehati-hatian pada agama seseorang dan hadis itu tidak terlalu lemah sanadnya, seperti pendapatnya Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibn Abdul Bar, Imam Ibn Hajar, Imam Suyuti, Imam Sakhawi, dan Imam Abu Ishaq.
Untuk masalah fadhail amal, jika hadisnya itu sangat lemah maka ulama sepakat tidak menerimanaya. Dan untuk hadis yang lemahnya ringan ulama berbeda pendapat:
Pendapat pertama, tidak boleh mengamalkannya secara mutlak sama halnya hadis yang sangat lemah, pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Bakar bin al-Arabi al-Maliki, Imam Ibn Hazm, dan Imam Yahya bin Muin serta ditunjukkan juga oleh Imam Bukhari, dan Imam Muslim.
Pendapat kedua, boleh mengamalkannya secara mutlak dengan syarat tidak ada lagi ditemui pada bab itu hadis maqbul selainnya dan juga fatwa sahabat dan pada hadis itu tidak menyalahi hadis yang diterima kehujahannya (hadis yang lebih kuat). [35] Pendapat ini dipegang oleh Imam Nasai, Imam Abu Daud, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ahmad bin Shaleh al-Mishry, sebagaimana yang dinukil dari perkataan mereka: “Hadis dhaif lebih kami sukai daripada pendapat ulama”.
Pendapat ketiga, boleh mengamalkan hadis dhaif pada fadhail amal, akan tetapi dengan syarat: (1) kedhaifan hadis itu tidak seberapa. (2) hadis itu masuk di bawah dasar yang umum yang tetap pada jalur yang diterima, maksud ungkapan ini adalah kebolehan mengamalkannya itu bukan kembali pada kelemahannya, tetapi kepada menjaga dasar hadis itu, karena itu tidak masuk sesuatu yang tidak mempunyai asal sama sekali (3) tidak beri’tiqad ketika mengamalkannya bahwa pekerjaannya itu memang pasti dari Rasulullah saw, tetapi beri’tiqad ihtiyath (hati-hati) ketika mengamalkannya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama hadis dan fikih.[36]



PENUTUP
ANALISIS
Dari paparan di atas dapat dianalisa beberapa hal:
Dilihat dari contoh-contoh hadis di atas, dari segi keshahihannya pada sanad dan matan, hadis dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi beberapa bagian, yaitu:
(1)   Hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih,
(2)   hadis yang sanadnya tidak sahih, tatapi matannya sahih,
(3)   hadis yang sanadnya majhul (tidak dikenal) dan matannya majhul,
(4)   hadis yang sanadnya sahih dan matannya sahih, dan
(5)   hadis yang sanadnya tidak sahih dan matannya juga tidak sahih.
Kesahihan sebuah hadis pada sanadnya tidak menuntut kesahihan matan pada kenyataannya secara pasti dan ketidaksahihan sanad tidak juga menuntut kedhaifan matan pada kenyataannya secara pasti.
Di antara alamat-alamat dhaifnya sebuah hadis-meskipun sanadnya sahih- yaitu bertentangan dengan nash al-Qur’an, bertentangan sunnah yang satu dengan yang lain, bertentangan riwayat-riwayat yang satu bagian yang satu dengan bagian yang lain, bertentangan dengan akal sehat atau fakta sejarah, atau lafaz hadisnya rusak dan jauh maknanya, berbedanya hadis pada ushul-ushul syari’at dan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan. 
Dari sebab dhaifnya hadis karena cacat perawi baik dari keadilan dan kedhabitannya dapat dikelompokkan jenis-jenisnya, yaitu:
1)      Jenis hadis dhaif dari keadilannya yaitu maudhu’, matruk, dan majhul.
2)      Jenis hadis dhaif dari kedhabitannya yaitu munkar, mu’allal, mudarraj, maqlub, mudhtharib, muharraf, mushahhaf, dan syadz.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Hadis dhaif merupakan hadis yang tidak terkumpul sifat-sifat hadis shahih dan juga sifat-sifat hadis hasan.
Hadis dhaif terbagi kepada dua bagian:
Pertama, yang menyebabkan tertolaknya karena terdapat keguguran perawi dalam sanadnya.  
Kedua, yang menyebabkan tertolaknya karena terdapat sesuatu yang menyebabkan dicacat perawi itu.
Adapun hadis dhaif yang lemahnya karena gugur perawi dari sanad, yaitu di antaranya: (1) Mua’allaq, (2) Mursal, (3) Mudallas, (4) Munqathi’, (5) Mu’dhal.
Dan hadis yang lemahnya karena terdapat kecacatan terhadap perawi, yaitu di antaranya: (1) Maudhu’, (2) Matruk, (3) Munkar, (4) Mudraj, (5) Maqlub, (6) Mu’allal, (7) Mudhtharab, (8) Mushahhaf, (9) Muharraf, (10) Mubham, (11) Majhul, (12) Syaz.
Untuk kehujahan hadis dhaif para ulama sepakat tidak menerimanya dalam hal aqidah, sedangkan untuk masalah hukum dan fadhail amal para ulama berbeda pendapat, ada yang menerimanya dan ada yang menolaknya.
















DAFTAR PUSTAKA
Al-Khathib, Muhammad Ajjaj. Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu. Kairo: Dar Al-Fikri. 1989.
Al-Qaththan, Manna. Mabahis fi Ulum Al-Hadis. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Anwar, M.. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas. 1981.
Ash Shiddiqy, M. Hasby. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1961.
As-Suyuti, Abdurrahman bin Abu Bakar. Tadrib al-Rawi. Riyadh: Maktabah al-Riyadh. t.t.
-------------. Alfiyah Suyuti fi Ilm al-Hadis. t.t. 
Ath-Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah Al-Hadis. t.t.
Hasan, A. Qadir. Ilmu Hadis. Bangil: Al-Muslimun. 1966.
Ibnu Ahmad al-Anshari, Umar bin Ali. Al-Maqna’ fi Ulumil Hadis. Su’udiyah: Darun Fawaz. 1413 H.
Ismail, M.Syuhudi. Ulumul Hadis. Ujung Pandang; Proyek Pengembangan Tenaga Akademis Perguruan Tinggi Agama. 1993.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadis. Bandung: Al-Maarif. 1974. Soetari, Endang. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005.
Solahudin, M. Agus, Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia. 2009.
Ulwan, Muhammad Sayyid Abdul Majid. Darbatu al-Thullab ‘Ala an-Nazhri fi Ilmi al-Atsar. Kahirah: Hukuk al-Thab’i. 1993.



[1] Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. h. 120.
[2] Muhammad Ajjaj Al-Khathib. Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu. Kairo: Dar Al-Fikri. 1989. h. 337.
[3] M.Syuhudi Ismail. Ulumul Hadis. Ujung Pandang; Proyek Pengembangan Tenaga Akademis Perguruan Tinggi Agama. 1993. h. 45.
[4] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia. 2009. h. 148.
[5] Soetari. Op.cit. h. 142.
[6] M. Hasby Ash Shiddiqy. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1961. h.111.
[7] Mahmud Ath-Thahhan. Taisir Musthalah Al-Hadis. t.t. h. 79.
[8] M. Hasby Ash Shiddiqy. Op. cit. h. 112.
[9] Ath-Thahhan. Op. cit. h. 80.
[10] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi. Op. cit. h. 151.
[11] Abdul Majid Khun. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. 2010. h. 198.
[12] Ibid.
[13] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuti. Tadrib al-Rawi. Riyadh: Maktabah al-Riyadh. t.t. h. 258.
[14] M. Hasby Ash Shiddiqy. Op. cit. h. 117.
[15] Abdul Majid Khon. Op. cit. h. 194.
[16] Ibid. h. 195.
[17] M. Hasby Ash Shiddiqy. Op. cit. h. 129.
[18] A. Qadir Hasan. Ilmu Hadis. Bangil: Al-Muslimun. 1966. h.50.
[19] M. Anwar. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas. 1981. h. 154.
[20] As-Suyuti. Alfiyah Suyuti fi Ilm al-Hadis. t.t.  h. 17.
[21] M. Hasby Ash Shiddiqy. Op. cit. h. 138.
[22] A. Qadir Hasan. Op. cit. h. 80.
[23] M. Hasby Ash Shiddiqy. Op. cit. h. 141.
[24] As-Suyuti. Tadrib al-Rawi. Op. cit. h. 342.
[25] M. Hasby Ash Shiddiqy. Op. cit. h. 142.
[26] Manna Al-Qaththan. Mabahis fi Ulum Al-Hadis. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005. h. 133.
[27] Ibid. h. 137.
[28] Ibid.
[29] Al-Khatib. Op.cit. h. 337.
[30] Fatchur Rahman. Ikhtisar Mushthalah Al-Hadis. Bandung: Al-Maarif. 1974. h. 209.
[31] Ibid. h. 218.
[32] Ibid. h. 220.
[33] Rahman. Op. Cit. h. 215.
[34] Ibid. h. 216-217.
[35] Umar bin Ali bin Ahmad al-Anshari. Al-Maqna’ fi Ulumil Hadis. Su’udiyah: Darun Fawaz. 1413 H. h. 103.
[36] Muhammad Sayyid Abdul Majid Ulwan. Darbatu al-Thullab ‘Ala an-Nazhri fi Ilmi al-Atsar. Kahirah: Hukuk al-Thab’i. 1993. h. 87-88.